Thursday, September 8, 2011

Pahami Psikologi Pasar


Memprediksi arah indeks saham di tengah ketidakpastian ekonomi memang sangat sulit. Volatilitas pasar tak hanya dipengaruhi oleh fundamental ekonomi tetapi lebih didominasi oleh psikologi pasar yang terkadang membuat indeks naik tak terduga dan hari berikutnya turun tajam tak terkira.

Ini pula yang terjadi pada perdagangan saham hari-hari belakangan ini. Bursa global anjlok tajam karena kekhawatiran terjadinya resesi dunia yang bersumber dari AS dan Eropa yang tengah dilanda krisis utang. Pengangguran yang tetap tinggi di AS, yakni di level 9,1% pada Agustus 2011 ditambah pertumbuhan ekonomi yang lambat mencemaskan pasar, sehingga investor beramai-ramai melepas sahamnya.

Namun, sentimen itu serta merta berbalik arah menjadi optimisme setelah Presiden Bank Dunia Robert Zoellick meyakini bahwa AS dan Eropa sepertinya tak akan resesi. Bank Dunia menilai progres pemulihan ekonomi di negara-negara itu sudah sesuai arah dan tengah berupaya memperbaiki fiskalnya agar tidak menjadi bom waktu di kemudian hari. Indeks saham yang bergerak seperti jet coaster itu selintas terlihat aneh.

Tetapi itulah pasar. Paul Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008, mengatakan bahwa perilaku investor global mengikuti isyarat kawanan (run with herd). Perilaku itu disebut herding behaviour yang tak bisa dicermati oleh ilmu keuangan semata, tetapi juga ilmu psikologi yang dapat berperan untuk mengidentifikasi perilaku investasi saat ini.

Sentimen dan ekspektasi sangat mendominasi perilaku investor, sehingga mereka sangat sensitif dalam merespons informasi. Ini pula yang membuat lembaga pemeringkat seperti Standard & Poor’s (S&P), Moodys, dan Fitch berpengaruh besar dalam menciptakan naik turunnya indeks.

Belum lepas dari ingatan kita ketika S&P menurunkan peringkat utang AS dari AAA menjadi AA+ yang langsung direspons pasar dengan penurunan indeks sangat tajam. Gara-gara itu, Presdir S&P Seven Sharma mengundurkan diri karena diduga banyak mendapat tekanan. Yang menjadi pertanyaan, sudahkan risiko-risiko global itu lenyap seiring kembalinya optimisme pasar terhadap pemulihan ekonomi?

Sejatinya belum, karena pasar masih menunggu pidato Presiden AS Barack Obama, hari ini, yang akan menyampaikan proposal tentang penciptaan lapangan kerja di AS. Kabarnya, Obama akan meluncurkan program senilai US$ 300 miliar untuk membuka lapangan kerja baru. Jika pidato itu memuaskan pasar, tentunya optimisme akan berlanjut.

Selain itu, pasar masih mengkhawatirkan komitmen Yunani dan Italia dalam mengatasi defisit utangnya lewat berbagai langkah pengetatan. Faktor global memang penuh ketidakpastian. Namun, sentimen dalam negeri cukup positif. Berbagai indikator makro ekonomi, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan juga suku bunga sangat memuaskan. Tak heran, emiten di Indonesia rajin memanen laba. Tahun lalu, laba emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) rata-rata 44% dan pada semester I- 2011 sekitar 39%.

Yang cukup menggembirakan, pesatnya laju pertumbuhan ekonomi RI yang diprediksi di atas 6,5% tahun ini, belum menyebabkan mesin ekonomi kita kepanasan (overheating), seperti Tiongkok. Sebab, inflasi tetap terjaga di level rendah. Bahkan, untuk momen Puasa dan Lebaran yang merupakan siklus konsumsi tinggi, inflasi bisa dikendalikan di bawah 1%. Melihat indikator dalam negeri, mustinya investor tak perlu panik yang menyebabkan salah dalam mengambil keputusan jual (sell) atau beli (buy). Sebab, jika kita salah mengambil keputusan bisa jadi investasi yang kita benamkan di pasar modal habis begitu saja.

Adam Smith dalam bukunya The Money Game mengatakan, perilaku pasar didorong oleh dua faktor, yaitu fear (ketakutan) dan greed (keserakahan). Kedua faktor itu merupakan variable yang sulit dikontrol dan acapkali melahirkan masalah. Saat pasar sedang bullish, investor beramai-ramai masuk hingga menciptakan bubble (gelumbung kosong). Sebaliknya, saat pasar bearish, investor ketakutan dan akhirnya indeks anjlok sangat dalam, meskipun kinerja emitennya sangat baik. Yang perlu diingat, uang selalu bergerak ke tempat-tempat yang menguntungkan. Investasi portofolio di Indonesia dikenal mampu memberikan return yang tinggi karena ditunjang oleh kinerja emiten yang cukup bagus.

Jadi, tak mustahil krisis AS dan Eropa justru membuat dana-dana asing mengalir makin deras ke sini, apalagi fundamental ekonomi RI cukup solid. Menghadapi volatilitas pasar global yang sangat tajam sebagai dampak ketidakpastian ekonomi, sikap cepat panik harus dibuang jauh-jauh. Selain fundamental emiten, psikologi pasar perlu dipahami agar kita tidak selalu gigit jari dalam berinvestasi di pasar saham.***

Kamis, 8 September 2011 | 10:02
http://www.investor.co.id/tajuk/pahami-psikologi-pasar/19468