Tuesday, September 6, 2011

Ketika bullish semakin pekat

(Tulisan ini telah dimuat di Harian KONTAN edisi Senin, 4 Oktober 2010 dengan Judul “Waspadai P/E Madness“)

DALAM melakukan investasi, price to earning ratio (P/E) adalah alat ukur yang paling populer dalam menentukan murah atau mahalnya harga suatu saham. Suatu saham dikatakan murah jika memiliki P/E yang rendah, dan dikatakan sudah mahal jika P/E sudah tinggi.
Faktor P/E ini sekitar satu-dua bulan terakhir terlihat menjadi perhatian utama pasar. Pergerakan harga saham memang memiliki siklus. Sektor rotasi, bahasa kerennya. Pada awal dimulainya sebuah tren naik, saham-saham berkapitalisasi besar atau big caps biasanya akan menjadi target utama perburuan pemodal.
Harga big caps ini lantas naik sehingga P/E menjadi tinggi (mahal). Pemodal lalu mengejar saham-saham unggulan atau blue chips yang lagi ‘mode’ (belakangan ini berupa saham-saham komoditas) dan yang dalam pengamatan 10 orang atau lebih analis fundamental, sehingga P/E jadi mahal.

Setelah itu, pelaku pasar mengejar saham-saham dengan P/E rendah, tapi memiliki operasional yang jelas.
Gajah Tunggal (GJTL), Mitra Adiperkasa (MAPI), Charoen Pokphand (CPIN), Japfa Comfeed (JPFA), Asahi Mas Flat Glass (AMFG) adalah contoh saham-saham yang sekitar dua bulan lalu memiliki P/E berkisar 5-7 kali, tapi saat ini P/E mereka sudah sekitar dua kali lipatnya.
Kegilaan atas saham-saham dengan P/E rendah ini kemudian berlanjut pada saham-saham lainnya, yang tidak pernah terdengar oleh sebagian besar pelaku pasar pemula (yang baru mulai investasi dalam 1–2 tahun terakhir). Ketika AQUA go private di harga Rp 500.000 per saham (ekuivalen dengan P/E sekitar 60 kali), saham-saham yang dianggap satu sektor dengan AQUA langsung mengejar. ADES berusaha mengejar agar P/E-nya naik menjadi 60 kali. ULTJ tidak mau kalah juga.

Selesai sampai di situ? Ternyata tidak. Saham-saham yang sudah lama tidak pernah muncul juga berkejaran naik. Euforia P/E ini menyisakan pertanyaan dalam benak saya: benarkah market sudah demikian bullish sehingga orang bisa mengejar saham apapun dan pasti untung? Apakah bullish memang sudah sedemikian pekat sehingga, meminjam istilah dari lagu almarhum Gombloh, tahi kucing (berhak untuk) berasa coklat?
Menghadapi kondisi market yang seperti ini, saya ingin mengingatkan:

Trading itu berbeda dengan investasi. Jika Anda berinvestasi (jangka panjang), Anda harus yakin bahwa saham yang Anda beli, selain murah dan berfundamental bagus, juga memiliki pergerakan harga yang sehat dari waktu ke waktu. Saham-saham musiman (terutama dengan P/E yang tidak murah lagi), hanya baik untuk trading, tidak untuk investasi.
Ketika Anda membeli saham, perhatikanlah saham apa yang Anda beli. Jika saham itu sebenarnya hanya saham musiman, ingatlah bahwa nanti akan ada masa di mana saham-saham yang biasanya diam, akan kembali diam tidak bergerak. IHSG memang masih bisa bergerak naik untuk jangka panjang, tapi hanya saham-saham dengan beta yang sehat serta korelasi yang tinggi yang akan ikut bergerak menyertai kenaikan IHSG.
Dalam tiga bulan terakhir, banyak sekali berita negatif yang belum direspon oleh pergerakan harga. Target angka inflasi tahunan yang terancam tak tercapai, kenaikan TDL yang berkelanjutan, kebijakan-kebijakan baru dari Bank Indonesia (yang bahkan telah berhasil membuat para bankir bingung), pembatasan BBM bersubsidi yang cepat atau lambat akan segera diberlakukan.
Sebentar lagi, laporan keuangan kuartal III akan keluar. Harga saham yang terbang di atas awan hanya didorong oleh rumor bisa saja, bahkan kemungkinan besar, akan dipaksa kembali ‘berpijak di tanah’ saat laporan keuangannya ternyata biasa-biasa saja.
Jika Anda memutuskan untuk ‘terpaksa mengubah posisi trading Anda menjadi investasi’ akibat ‘tersangkut’, saya hanya bisa berpesan bahwa, menurut pengalaman saya, para pengelola dana asing biasanya tidak tertarik untuk membeli saham-saham yang: jumlah saham beredarnya sedikit, kapitalisasinya kecil, pernah digoreng, dan bergerak di sektor investasi. Maklum, perusahaan investasi biasanya sudah lebih pintar mengelola investasinya sehingga merasa tak perlu untuk berinvestasi pada perusahaan investasi lainnya.
Jika alasan Anda membeli saham karena IHSG masih bergerak naik, perhatikan arah jangka pendeknya. Jika tren jangka pendek IHSG berubah jadi turun, perhatikan arah pergerakan harga jangka pendeknya sebelum kembali melakukan akumulasi.

Kenaikan IHSG saat ini akibat masuknya dana asing yang sangat besar. Ini terjadi setelah Japan Credit Rating Agency, sebuah lembaga pemeringkat utang dari Jepang, menaikkan rating utang Indonesia menjadi investment grade pada 13 Juli lalu. Aliran dana asing sejak saat itu hingga 30 September lalu sudah mencapai Rp 11,3 triliun. Dus, hampir mendekati rata-rata dana asing yang masuk dalam lima tahun terakhir, yang sekitar Rp 14 triliun-Rp 15 triliun. Padahal, ini baru foreplay. Ingat, masih ada lembaga perating utang lainnya yang jauh lebih besar pengaruhnya; Moody’s, S&P, dan Fitch.

Jadi, terlepas dari risiko yang telah cukup tinggi, saya masih percaya bahwa IHSG masih bisa bergerak menuju 5.000, bahkan lebih tinggi, dalam 1-2 tahun ke depan. Nikmatilah market yang bullish ini, tapi tetap waspada dan rasional agar Anda tidak tergelincir dalam ganasnya pasar modal Indonesia. Semoga beruntung!

http://satrio.blog.kontan.co.id/2010/10/06/ketika-bullish-semakin-pekat/